Selasa, 21 Februari 2017

Macam-macam Talak Ditinjau dari Boleh Tidaknya Suami Rujuk Kembali Pada Istri

Penulis: Muhammad Abduh Al-Banjary

Seseorang yang menceraikan istrinya, kadang ingin kembali pada istri yang diceraikannya tersebut. Bisa jadi, saat menceraikan istrinya, yang terpikir hanyalah keburukan istri atau rasa bosan terhadap sang istri, namun setelah ia berpikir dan mengingat-ingat kembali kebaikan istrinya, ia sadar telah melakukan kesalahan. Dan Islam memerhatikan hal ini semua. Inilah bukti kesempurnaan Islam.
Dalam Islam, dikenal berbagai jenis talak dari sisi boleh tidaknya suami kembali pada istri, disyariatkannya masa ‘iddah, serta adanya konsep rujuk.
Dari sisi boleh tidaknya suami kembali pada istri, talak terbagi menjadi dua, yaitu talak raj’i (الطلاق الرجعي) dan talak bain (الطلاق البائن).

1. Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang membolehkan suami untuk kembali lagi kepada istri yang telah ditalak, tanpa harus melalui akad nikah baru, walaupun sang istri tidak ridha terhadap hal itu. Artinya, setelah istri dicerai oleh suami, sang suami berhak untuk berkumpul lagi dengan istrinya yang telah dicerai tersebut, tanpa harus melalui proses pernikahan ulang.
Talak jenis ini terjadi setelah talak satu dan talak dua, selama masa ‘iddah talak tersebut belum habis. Yang dimaksud masa ‘iddah adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh syariah yang harus dilalui seorang perempuan yang dicerai oleh suaminya, dan di masa ini ia tak boleh menikah lagi dengan laki-laki lain hingga selesai masanya.
Hikmah disyariatkannya masa ‘iddah ini, adalah untuk mengetahui apakah dalam rahim si perempuan terdapat janin dari mantan suaminya atau tidak, juga sebagai masa berkabung bagi istri yang suaminya meninggal dunia, bisa juga untuk memberi kesempatan bagi suami untuk berpikir ulang atas talak yang telah dijatuhkannya.
Jika suami rujuk atau kembali kepada istrinya di masa ‘iddah ini, selama talaknya talak satu atau talak dua, maka kembalilah mereka berdua menjadi suami istri, tanpa harus ada akad lagi.
Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, seluruh talak adalah talak raj’i, kecuali talak yang dilakukan sebelum terjadinya persenggamaan, talak yang diiringi kompensasi harta seperti dalam khulu’, atau talak tiga (baik yang ditalak satu-satu, maupun dengan talak tiga dalam satu waktu), baik talak tersebut disampaikan secara sharih (jelas) atau dengan kinayah (sindiran tak langsung).
Talak yang dilakukan sebelum persenggamaan tidak ada rujuk, karena wanita yang ditalak dalam keadaan ini tidak ada masa ‘iddahnya, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Ahzab ayat 49. Jika tidak ada ‘iddah, berarti tidak ada juga rujuk.
Talak yang diiringi kompensasi harta seperti khulu’ juga tidak ada rujuk padanya, karena maksud dari khulu’ adalah si perempuan memiliki hak terhadap dirinya sendiri sekaligus mencegah mantan suaminya untuk kembali padanya.
Malikiyyah menambah satu lagi yang tidak termasuk talak raj’i, yaitu mubara-ahMubara-ah ini salah satu bagian khulu’ dalam madzhab Maliki, yang bermakna istri tidak harus membayar kompensasi harta sebagai konsekuensi gugat cerai.
Sedangkan Hanafiyyah menyatakan talak kinayah yang diniatkan talak selain dengan tiga lafazh, yaitu i’taddi, istabri-i rahimaki, dan anti waahidah, tidak termasuk dalam talak raj’i. Demikian pula talak yang dijatuhkan qadhi karena adanya aib pada suami, percekcokan, atau dikhawatirkan istri akan menjauhi suaminya karena ketidaksukaan. Sisanya sama dengan jumhur.
Dalil yang menunjukkan bahwa talak secara umum pada dasarnya adalah raj’i adalah firman Allah ta’ala:
الطلاق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229)
Dan firman-Nya:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء….. وبعولتهن أحق بردهن في ذلك إن أرادوا إصلاحاً
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’….. Dan suami-suami mereka berhak rujuk kepada mereka dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (Potongan QS. Al-Baqarah [2]: 228)
Dua ayat di atas merupakan dalil yang menunjukkan dibolehkannya rujuk selama wanita yang ditalak masih dalam masa ‘iddah, dan hukumnya baru berubah jika ada dalil yang mengecualikannya.

2. Talak Bain
Talak bain terbagi menjadi dua, yaitu talak bain baynunah shughra dan talak bain baynunah kubra.
Talak bain baynunah shugra adalah talak yang menyebabkan seorang laki-laki tak bisa kembali pada istri yang telah diceraikannya, kecuali setelah melakukan akad nikah baru dan memberi mahar.
Sedangkan talak bain baynunah kubra adalah talak yang menyebabkan seorang laki-laki tak bisa kembali pada istri yang telah diceraikannya, kecuali si mantan istri menikah dengan laki-laki lain terlebih dulu dengan nikah yang sah, kemudian ia bersenggama dengan suaminya tersebut, setelah itu suaminya menceraikannya atau meninggal dunia, kemudian wanita ini telah selesai masa ‘iddah dari suaminya yang kedua. Setelah semua proses ini terjadi, baru mantan suaminya yang pertama boleh menikahinya lagi.
Talak bain baynunah kubra ini terjadi setelah seorang laki-laki menyatakan talak tiga kepada istrinya. Pembahasan tentang talak tiga ini cukup panjang lebar dibahas oleh fuqaha, namun di sini kita tidak membahasnya dulu. Intinya secara umum, jika seorang laki-laki telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, maka itu dinamakan talak bain baynunah kubra. Adapun talak bain baynunah shugra adalah seluruh talak selain talak raj’i dan bain baynunah kubra.
Tentang talak bain baynunah kubra ini, Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm meriwayatkan dari Imam Malik, dari Miswar ibn Rifa’ah al-Qurazhi, dari Zubair ibn ‘Abdirrahman ibn Zubair, bahwa Rifa’ah menceraikan istrinya, Tamimah binti Wahb, dengan talak tiga di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian istrinya ini dinikahi oleh Abdurrahman ibn Zubair, namun ada yang menghalanginya dan ia (‘Abdurrahman) tak bisa menyentuhnya, kemudian ia menceraikannya. Setelah itu Rifa’ah yang merupakan suaminya yang pertama ingin menikahinya lagi, kemudian ia menyampaikan hal ini kepada Nabi, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, seraya berkata:
لَا تَحِلُّ لَك حَتَّى تَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ
Artinya: “Ia tidak halal bagimu, hingga ia merasakan manisnya persenggamaan (dengan suaminya yang baru).”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Malik dalam Al-Muwaththa, Ibn Hibban, dan Al-Baihaqi.
Asy-Syafi’i, setelah meriwayatkan hadits ini dalam Al-Umm, kemudian berkomentar, “Jika seorang wanita yang telah ditalak tiga menikah lagi dengan pernikahan yang shahih, kemudian suaminya memperoleh (kenikmatan pernikahan) darinya, setelah itu suaminya menceraikannya, lalu selesai masa ‘iddahnya, maka suaminya yang pertama boleh menikahinya kembali, berdasarkan firman Allah ta’ala { فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ }.”
Muhammad ibn Hasan Asy-Syaibani setelah meriwayatkan hadits Malik dalam Al-Muwaththa berkata, “Dan ini pendapat yang kami ambil. Ia juga merupakan pendapat Abu Hanifah dan umumnya fuqaha kami. Karena suami yang kedua tidak menyetubuhinya, maka tidak halal ia kembali ke suami pertama, hingga suami yang kedua menyetubuhinya.”
Selesai dengan izin Allah ta’ala.

kunjungi tafaqquh.com untuk mengetahui lebih banyak hal tentang Fiqh.